Minggu, 19 Februari 2012

Sholat Jumat di Rumah


Sholat Jumat di Rumah
Menyelisihi Tuntunan Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam

Satu diantara pemahaman nyleneh yang muncul dimasa ini yaitu pemahaman yang menyatakan bahwa “Jika seorang laki-laki tidak bisa mendatangi sholat Jumat (karena udzur,seperti sakit,musafir atau keperluan lain) maka dia tetap wajib sholat Jumat dua rakaat walaupun sendirian di rumah. ”Mereka juga menyatakan bahwa wanita juga wajib shalat Jumat. Mereka berdalil dengan Firman Allah Ta’ala :
ينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى يَا أَيُّهَا الَّذِ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ    
Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat jumat, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. Al-Jumuah: 9)
Kata mereka: Yang namanya orang beriman itu bukan hanya laki-laki tapi juga para wanita, oleh karena itu wanitapun  wajib sholat Jumat, Karenanya wanita-wanita mereka pada mengerjakan sholat Jumat dua rekaat di rumah seandainya tidak bisa ke masjid sebagaimana laki-laki mereka mengerjakan sholat Jumat dua rekaat di rumah seandainya tidak bisa mendatangi sholat Jumat di masjid karena ada  udzur. Ini adalah  pendapat nyleneh yang baru muncul di masa ini oleh  kelompok aqlaniyun. Pendapat yang sama sekali tidak dikenal oleh generasi salafushalih, generasi khairul qurun, generasi terbaik ummat ini, yakni generasi shahabat, tabi’in dan atba’uttabi’in, padahal mereka adalah generasi paling ‘alim dari ummat ini, paling mendalam ilmunya, yang langsung menimba ilmu agama ini dari Nabinya Shallalahu’alaihi wa sallam.
                       Sebarluaskan artikel ini, Insya Allah berpahala dan menjadi amal shalih anda                     1
Pendapat ini juga tidak dikenal oleh para ulama dan imam-imam besar kaum muslimin, imam-imam ahli hadis  dari zaman ke zaman ,padahal mereka lebih kokoh ilmunya, lebih kuat ittiba’ya kepada jalannya Rasulullah dan para shahabatnya.
Wahai saudaraku, sesunguhnya memahami agama ini ,memahami Al-Quran dan As-Sunnah tidaklah cukup hanya dengan melihat arti bahasanya. Namun haruslah  dilihat bagaimana prakteknya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Bagaimana ayat-ayat dan hadis-hadis itu ditafsirkan dan dipraktekkan oleh Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya dalam kehidupan keseharian mereka. Bahkan memahami agama ini , menafsirkan  ayat-ayat dan hadis-hadis hanya dari segi bahasanya bisa menyebabkan tidak sampainya pada tujuan yang dimaksud bahkan tersesat sejauh- jauhnya.                                                             Kerusakan pendapat atau pemahaman ini , dikarenakan jauhnya mereka dari bimbingannya para Ulama, dan mereka merasa cukup serta merasa mampu memahami sendiri ayat-ayat maupun hadis hanya  dengan melihat artinya, tanpa melihat prakteknya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan para shahabatnya, tanpa mau membaca, melihat, mendengar  penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh para ulama ahli tafsir maupun ahli hadis yang jauh lebih alim dan lebih mendalam ilmunya dari mereka. Maka lihatlah apa yang terjadi, kerusakan demi kerusakan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, mengingkari lailatul qadr, mengingkari taqdir, mengingkari Istiwa’ (meningginya) Allah Ta’ala diatas Arsy-Nya, diatas langit-Nya yang ketujuh, menghalalkan anjing ,menghalalkan kodok, menghalalkan musik dan kerusakan–kerusakan lain yang lebih parah dikarenakan menyangkut urusan aqidah.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengerjakan  sholat Jumat ketika dalam kondisi musafir,tapi beliau sholat dhuhur
Keringanan bagi musafir atas kewajiban sholat Jumat sebagaimana yang pernah dikerjakan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Ketika mereka sedang menjalankan ibadah haji atau pada waktu-waktu yang lain dimana mereka dalam kondisi sebagai musafir, tidak seorangpun dari mereka yang mengerjakan sholat Jumat. Padahal pada waktu itu orang-orang sangat banyak yang memungkinkan untuk menjalankan sholat Jumat. Al-Alamah Asy-Syaihk Muhammad Nashiruddin Al-Albani, seorang Ulama besar ahli hadis, dalam kitab beliau yang berjudul Al-Irwa’ Juz 3 hal 60, mengatakan bahwa berdasarkan penelitian beliau memang benar menunjukkan hal yang demikian, yakni tidak adanya kewajiban sholat Jumat bagi orang yang berada dalam keadaan musafir. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya riwayat yang diperoleh dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma  yang berhubungan dengan bagaimana Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengerjakan haji atau dalam kondisi musafir yang lain, sebagaimana berikut. “Ketika Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam telah sampai di Arafah, mereka mengerjakan sholat dhuhur kemudian berdiri melanjutkan atau menjamak nya dengan sholat Asar.” Kejadian tersebut adalah pada hari Jumat sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab shahihain (Bukhary dan Muslim) dan kitab-kitab lainnya.
Wanita Tidak Wajib Sholat Jumat,tapi sholat dhuhur
Shalat Jumat merupakan kewajiban atau fardhu ‘ain bagi setiap laki-laki merdeka, yang jarak antara rumahnya ke masjid tidak lebih dari satu farsakh (yakni lebih kurang tiga mil, Lihat ta’liq syarah Bulughul Maram oleh Hamid Al-Faqiy hal 86), sebagaimana hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:               
الجمعةحق واجب علىكل مسلم إلا أربعة عبد مملوك    3   ج53  ص 592 أوامرأةأوصبي أومريض صحيح الإرواء رقم

“Sholat Jumat wajib bagi setiap muslim, kecuali empat golongan: budak , wanita, anak kecil dan orang yang sakit.”( Shahih, Al-Irwa’ Juz 3, halaman54, nomor 592)

Sholat Jumat di rumah menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

                       Sebarluaskan artikel ini, Insya Allah berpahala dan menjadi amal shalih anda                      2
Sholat jumat sendiri dirumah siapa yang ditiru. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah melalukannya, Para shahabat Nabi ridhwanallahu ‘alaihim ajma’in tidak ada yang melakukannya, Al-khulafaurrasyidin al-mahdiyyin tidak ada yang melakukannya. Sedang mereka adalah generasi yang dididik dan diasuh langsung oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Dalam hadits `Abdullah bin Masud Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam.bersabda:                                              “Sebaik-baik manusia      adalah     zamanku     kemudian zaman    setelahnya  kemudian zaman  setelahnya. (Dikeluarkan oleh Imam Bukhory (2652), Muslim (2533/211), dan lain-lainya. Dan hadits ini adalah hadits yang mutawatir).
Hadits ini sangat tegas menunjukkan keutamaan tiga generasi pertama ummat ini yaitu generasi Salaf Ash-Sholih (yakni generasi shahabat, tabi`in,dan tabiut tabi`in) bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi yang pernah lahir dari ummat ini. Merekalah generasi yang paling baik jalannya, paling mendalam ilmunya, paling lurus pemahamannya, paling sedikit salahnya, dan yang paling mulia disisi Allah Ta`ala. Maka ini menunjukkan wajibnya kita mengikuti jalan mereka. Karenanya,  kalau kita ingin selamat maka kita harus memahami agama ini dengan pemahamannya shahabat-shahabat Nabi shallallahu ``alaihi wa alihi wa sallam.
 Wahai saudaraku, demikian pula  para ulama ahli tafsir, ahli hadits serta imam-iamam kaum muslimin dimanapun dan pada zaman apapun hingga zaman kini tidak ada yang melakukan sholat Jumat dirumah, melainkan sholat dhuhur kalau mereka berhalangan dari mendatangi sholat Jumat karena sakit , sedang  safar atau sebab lain yang membuat mereka tertahan dari mendatangi sholat Jumat.

Karena itu,  tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat jumat dalam keadaan safar, maka sudah  dipastikan bahwa amalan mengerjakan shalat jumat dalam kondisi safar apalagi tidak sedang safar tapi melakukan sholat Jumat sendirian di rumah adalah salah dan menyelisihi tuntunan beliau, serta pelakunya telah terjatuh ke dalam dosa penyelisihan kepada Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan seharusnya mereka sholat dhuhur kalau memang ada udzur ( yakni, ada sesuatu hal yang menghalangi atau memberatkan, sehingga diperkenankan untuk tidak mengerjakannya, sperti sakit,sedang safar atau melakukan perjalanan jauh untuk suatu kebutuhan ,atau sebab lain yang syar’i.)
Sumber:                                                                                           -Shaolatul jum’ah, fadhiluhu, adabuhu, hukumuhu. Penulis: Abu Abdul Aziz Abdullah bin Safar Al-‘Abdaliy Al-ghamidiy                                                                                         -http://al-atsariyyah.com/jamak-shalat-bagi-musafir.html

Jumat, 06 Januari 2012

Penghuni Surga Termiskin


Penghuni Surga Termiskin        
 Penulis : Al-Ustadz Abu Muawiyyah

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
سَأَلَ مُوسَى رَبَّهُ مَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً قَالَ هُوَ رَجُلٌ يَجِيءُ بَعْدَ الْجَنَّةَ فَيُقَالُ لَهُ ادْخُلْ الْجَنَّةَ فَيَقُولُ أَيْ رَبِّ كَيْفَ مَا أُدْخِلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ وَقَدْ نَزَلَ النَّاسُ مَنَازِلَهُمْ وَأَخَذُوا أَخَذَاتِهِمْ فَيُقَالُ لَهُ أَتَرْضَى أَنْ يَكُونَ لَكَ مِثْلُ مُلْكِ مَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ رَضِيتُ رَبِّ فَيَقُولُ لَكَ ذَلِكَ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ فَقَالَ فِي الْخَامِسَةِ رَضِيتُ رَبِّ فَيَقُولُ هَذَا لَكَ وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ وَلَكَ مَا اشْتَهَتْ نَفْسُكَ وَلَذَّتْ عَيْنُكَ أُولَئِكَ الَّذِينَ أَرَدْتُ فَيَقُولُ رَضِيتُ رَبِّ قَالَ رَبِّ فَأَعْلَاهُمْ مَنْزِلَةً قَالَ غَرَسْتُ كَرَامَتَهُمْ بِيَدِي وَخَتَمْتُ عَلَيْهَا فَلَمْ تَرَ عَيْنٌ وَلَمْ تَسْمَعْ أُذُنٌ وَلَمْ يَخْطُرْ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ قَالَ وَمِصْدَاقُهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ    الْآيَةَ { مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ }
“Musa bertanya kepada Rabbnya, “Apa ciri penghuni surga yang paling rendah kedudukannya?” Allah menjawab, “Yaitu orang yang datang setelah semua penghuni surga dimasukkan ke dalam surga.” Lalu dikatakan kepada orang ini, “Masuklah ke surga!” Orang ini menjawab, “Wahai Rabbku, bagaimana mungkin aku bisa masuk, sementara mereka sudah menempati tempat masing-masing dan mengambil bagian mereka?” Maka dikatakan kepada orang ini, “Apakah kamu mau mendapatkan bagian kerajaan seperti seorang raja di antara raja-raja dunia?” Orang itu menjawab, “Aku rela, wahai Rabbku.” Rabb mengatakan, “Itu bagianmu ditambah seperti itu, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu,” pada kali kelima, orang itu mengatakan, “Aku rela, wahai Rabbku.” Rabb mengatakan, “Ini bagianmu ditambah sepuluh kali lipatnya. Dan kamu mendapatkan apapun yang kamu inginkan dan matamu menyukainya.” Orang itu mengatakan, “Aku rela, wahai Rabbku.” Musa mengatakan, “(Bagaimana dengan) orang yang paling tinggi kedudukannya?” Rabb menjawab, “Mereka itu, orang pilihan-Ku, kemuliaan mereka di tangan-Ku, dan Aku menutup (kemulian itu), ia belum pernah terlihat mata, belum pernah terdengar telinga dan belum pernah terdetik dalam hati.” Perawi berkata, “Dalilnya terdapat dalam firman Allah, “Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang disembunyikan dari mereka …” sampai akhir ayat. (QS. As-Sajdah: 17). (HR. Muslim no. 189)
Penjelasan ringkas:
Sungguh surga mempunyai kenikmatan yang sangat besar dan kemuliaan yang tidak terkira. Penghuni surga yang berada di tingkatan palinbawah saja sudah memiliki 10 kali lipat dari apa yang dimiliki oleh seluruh raja-raja di dunia.

Rabu, 14 Desember 2011

Bom Bunuh Diri Dilarang Dalam Islam


Bunuh Diri Adalah Haram Secara Mutlak                    Fatma Ulama Tentang Larangan Bom  Bunuh Diri
Jihad di dalam Islam merupakan salah satu amalan mulia, bahkan memiliki kedudukan paling tinggi. Sebab, dengan amalan ini seorang muslim harus rela mengorbankan segala yang dimiliki berupa harta, jiwa, tenaga, waktu, dan segala kesenangan dunia untuk menggapai keridhaan Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah Ta’ala:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Meraka berperang di jalan Allah. Lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:111)
Karena amalan jihad merupakan salah satu jenis ibadah yang disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla, maka di dalam mengamalkannya pun harus pula memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan. Yaitu ikhlas dalam beramal dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak. Hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhyialllahu ‘anhu:
Ada seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: Ada seseorang yang berperang karena mengharapkan ghanimah (harta rampasan perang, red), ada seseorang yang berperang agar namanya disebut-sebut, dan ada seseorang yang berperang agar mendapatkan sanjungan, manakah yang disebut fisabilillah? Maka jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
 Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itulah yang tinggi, maka itulah fisabilillah.” (Muttafaqun alaihi)
Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Dzabyan, ia berkata: Aku telah mendengar Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bercerita:  Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus kami (memerangi kaum musyrikin) ke daerah Huraqah. Lalu kami pun memerangi mereka di pagi hari secara tiba-tiba. Akhirnya, kami dapat mengalahkan mereka. Kemudian aku bersama seseorang dari kalangan Anshar mengejar salah seorang dari mereka. Ketika kami mendapatkan dan hendak membunuhnya, dia berkata: Laa ilaaha illallah. Maka Anshari tersebut menahan pedangnya, namun aku (tetap) membunuhnya dengan tombakku hingga mati. Maka ketika kami kembali, sampailah (berita ini) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berkata: “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallah?” Aku menjawab: “Dia hanya menjadikannya sebagai perlindungan (bukan dari hatinya).” Maka beliau terus menerus mengulangi ucapannya sehingga aku berkeinginan bahwa aku tidak masuk Islam kecuali hari itu (karena beliau merasa besar kesalahan yang dilakukannya sehingga dengan masuk Islam bisa menghapuskan kesalahan yang terdahulu).      Riwayat ini menunjukkan bahwa di dalam mengamalkan agama Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak cukup hanya dengan semangat belaka, namun juga harus dibarengi dengan ilmu agar di dalam mengamalkan suatu amalan dilakukan di atas bashirah (ilmu).
Bunuh Diri Adalah Haram Secara Mutlak
Riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa membunuh diri sendiri dengan menggunakan alat apapun merupakan salah satu dosa yang sangat besar di sisi Allah Azza wa Jalla. Berikut ini hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan tersebut:         - Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (5778) dan Muslim (158) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya di dalam neraka jahannam yang kekal (nantinya), (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.”
- Diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin Dhahhak radhyiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia disiksa dengan (alat tersebut) pada hari kiamat.”
- Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Khaibar. Kemudian beliau berkata pada seseorang yang mengaku dirinya muslim: “Orang ini dari penduduk neraka.” Ketika terjadi pertempuran, orang tersebut bertempur dengan sengitnya lalu terluka. Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, yang engkau katakan bahwa dia dari penduduk neraka, sesungguhnya pada hari ini dia ikut bertempur dengan sengitnya, dan dia telah mati.” Jawab Rasulullah shallallajhu ‘alaihi wasallam: “(Ia) masuk neraka.” Hampir saja sebagian manusia ragu (dengan ucapan tersebut). Ketika mereka dalam keadaan demikian, lalu mereka dikabari bahwa dia belum mati akan tetapi terluka dengan luka yang sangat parah. Ketika malam hari dia tidak sabar lagi dan bunuh diri. Lalu dikabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal tersebut, lalu beliau berkata: “Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Beliau memerintahkan Bilal untuk berteriak di hadapan manusia:
 Sesungguhnya tidaklah ada yang masuk surga kecuali jiwa yang muslim, dan sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan laki-laki yang fajir (berbuat dosa ).”
Dalil-dali di atas sangat jelas mengharamkan bunuh diri dengan segala macam jenisnya dan dengan cara apapun. Inilah yang difahami oleh para ulama rahimahullah. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu:
Intihar adalah bunuh diri secara sengaja dengan sebab apapun, dan ini diharamkan dan termasuk dosa yang paling besar.” (Fatawa Islamiyyah, 4/519).
Fatma Ulama Tentang Bom Bunuh Diri
Para aktivis pergerakan dari kalangan hizbiyyun yang melakukan amalan hanya bermodal semangat dan tidak berusaha memecahkan suatu permasalahan secara ilmiah berdasarkan pandangan yang shahih dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta tidak menjadikan ulama rabbani sebagai rujukan, menyebabkan mereka melakukan pembelaan terhadap amalan yang batil ini.
Kalangan “ulama” mereka pun berusaha mendukung dengan cara menempatkan dalil namun tidak pada tempatnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka merendahkan fatwa ulama yang melarang amalan ini dengan menyatakan: “Mereka adalah ulama yang tidak mengerti waqi’ (kondisi).” “Mereka hanya pantas mengurusi masalah haid dan nifas saja. Adapun masalah jihad, maka ada ulama tersendiri.” Masya Allah!
Ternyata yang mereka anggap sebagai ulama adalah para “ulama gadungan” yang memiliki pemikiran Khawarij, Quthbiyah, dan Ikhwani seperti Salman Al-Audah, Sulaiman Al-Ulwan, Ibrahim Ad-Duwaisy, Sa’id bin Musfir, Yusuf Al-Qardhawi, dan yang semisal mereka. Bahkan di antara mereka ada yang menukilkan ijma’ para ulama tentang bolehnya hal tersebut. Bukankah ini penukilan yang aneh? Bagaimana mungkin terjadi ijma’ dalam keadaan para ulama besar mengingkari perbuatan ini, seperti Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Abdul Azis Alus Syaikh, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan yang lainnya rahimahumullah ta’ala.(Lihat Tahrirul Maqaal Fi Annahu Intihar Wa Laisa Isytisyhaad, Abu Muhammad Nashir As-Salafi, 17)

Berikut ini adalah fatwa dari Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta’ala:
Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa intihar (melakukan bom bunuh diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk bunuh diri, wal ‘iyadzu billah. Barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan dalam neraka Jahannam selamanya sebagaimana yang terdapat dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, bunuh diri tidak memberi kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri dan membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus (orang kafir), tidaklah memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak masuk ke dalam Islam. Berbeda dengan kisah anak muda tersebut (maksudnya adalah kisah Ashabul Ukhdud yang panjang, lihat haditsnya dalam Riyadhus Shalihin hadits no. 30 bab: Sabar, pen).
Dan boleh jadi, yang terjadi musuh justru akan semakin keras perlawanannya dan menjadikan darah mereka mendidih. Sehingga semakin banyaklah kaum muslimin yang terbunuh sebagaimana yang ditemukan dari perlakuan Yahudi terhadap penduduk Palestina. Jika mati salah seorang dari mereka dengan sebab peledakan ini dan terbunuh enam, tujuh, maka mereka mengambil dari kaum muslimin –dengan sebab itu- enam puluh orang atau lebih sehingga tidak mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan tidak bermanfaat pula bagi yang diledakkan di barisan-barisan mereka.
Oleh karena itu, kami melihat, apa yang dilakukan oleh sebagian manusia berupa tindakan bunuh diri, kami anggap bahwa hal itu adalah membunuh jiwa tanpa hak dan menyebabkan masuknya ke dalam neraka, wal iyadzu billah. Dan pelakunya bukanlah syahid…bersambung…….
Sumber: http ://qurandansunnah.wordpress.com

Text Box: Baca risalah terkait : 1. Dampak Negatif Terorisme  2. Hukum Terorisme dan Pelakunya  3.  Terorisme Mencoreng Citra Islam di Mata Dunia  4. Agar Anak Tidak Menjadi Teroris  5.Bom Bunuh Diri Dilarang Dalam Islam
5. B






Namun jika seseorang melakukan itu dengan anggapan bahwa hal tersebut boleh, maka kami berharap agar dia selamat dari dosa. Adapun bila dianggap syahid, maka tidak demikian. Sebab, dia tidak menempuh cara untuk mati syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad dan dia salah, maka baginya satu pahala.” (Syarah Riyadhus Shalihin 1/165. Lihat pula: Tahrir Al-Maqaal: 23-24).
Hukum Menerobos Sarang Musuh


Banyak terjadi kesalahpahaman tentang riwayat-riwayat yang terdapat dalam hadits Nabi shallalahu ‘alaihsi wasallam dan para sahabatnya berkenaan tentang masalah ini, disebabkan ketidaktepatan mereka dalam menempatkan nash-nash tersebut pada posisi yang semestinya yang menyebabkan mereka tidak bisa membedakan antara hukum bom bunuh diri dengan menyerang ke barisan musuh (sarang musuh) sampai mati. Dalam masalah ini telah terjadi tiga kubu:
- Pertama adalah kubu yang membawa nash-nash tentang menyerang ke barisan musuh kepada bolehnya melakukan bom bunuh diri, sebagaimana yang difahami oleh para hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan selainnya.
- Kedua adalah kubu yang menganggap seluruhnya adalah tindakan bunuh diri, termasuk menyerang ke sarang musuh hingga mati. Ini difahami oleh sebagian orang yang mengaku Ahlu Sunnah tapi jahil dan tidak mampu membedakan antara dua keadaan.
- Yang benar adalah kubu yang ketiga, yang membedakan antara kedua hukum disebabkan karena terjadinya perbedaan kondisi. Di mana keadaan kedua ini dengan cara sebagian masuk ke daerah musuh lalu melakukan pertempuran hingga terbunuh melalui tangan musuh, bukan meledakkan tubuh sendiri. Adapun keadan kedua ini adalah amalan yang disyari’atkan berdasarkan dalil-dalil yang akan kita sebutkan beserta perkataan para ulama.
Diantara dalil disyariatkannya amalan tersebut:
Tentang tafsir firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
Diriwayatkan oleh Tirmidzi (4/72) dari Aslam Abu Imran At-Tujibi, ia berkata: Ketika kami berada di daerah Romawi, mereka mengeluarkan barisan (tentara perang) yang besar. Maka keluarlah kaum muslimin semisal (jumlah mereka) atau lebih untuk menghadapi mereka. Yang memimpin tentara Mesir adalah Uqbah bin Amir dan jamaah yang lainnya dipimpin Fudhalah bin Ubaid. Maka salah seorang dari kaum muslimin menerobos masuk ke barisan Romawi hingga masuk ke tengah-tengah mereka. Maka berteriaklah manusia dan berkata: Subhanallah, dia telah melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan.” Maka berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah mentakwil ayat ini dengan menakwilan seperti ini. (Padahal) sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan kami kaum Anshar di saat Allah telah memuliakan Islam dan semakin banyak para penolongnya, maka sebagian kami berbisik terhadap sebagian lainnya tanpa sepengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Sesungguhnya harta kita telah terlantar dan sesungguhnya Allah telah muliakan Islam dan semakin banyak penolongnya. Maka sekiranya kita memperbaiki perekonomian kita dan menata kembali apa yang telah terlantar.’ Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bantahan dari apa yang kami katakan. Maka kebinasaan (yang dimaksud) adalah memperbaiki perekonomian dan menatanya lalu meninggalkan peperangan.’ Maka Abu Ayyub terus berjihad di jalan Allah sampai beliau dikuburkan di Romawi.
(Hadit ini dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad Fi Asbabin Nuzul: 34).
Lihat pula penafsiran para ulama dalam menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 207, dimana Umar bin Khattab dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma membantah komentar orang yang mengatakan tentang salah seorang yang menerobos masuk di antara dua barisan musuh dengan menyatakan: Dia telah melemparkan dirinya dalam kebinasaan. Maka mereka dibantah oleh Umar dan Abu Hurairah dengan firman Allah tersebut. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (5/303) dan Baihaqi dalam Al-kubra (9/46))
Telah diriwayatkan oleh Bukhari (2805) dan Muslim (3523) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pamanku Anas bin Nadhr tidak ikut serta dalam perang Badar, maka beliau berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak ikut perang pertama yang engkau memerangi musyrikin. Sekiranya Allah memberi kesempatan padaku hadir dalam memerangi musyrikin, maka Allah akan melihat apa yang akan aku perbuat!” Maka ketika pecah perang Uhud dan kaum muslimin kalah, beliau berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku berudzur padamu dari apa yang dilakukan mereka ini (yaitu larinya kaum muslimin dari medan pertempuran) dan aku berlepas diri kepadamu dari apa yang dilakukan mereka ini (kaum musyrikin).” Lalu beliau maju dan bertemu Sa’ad bin Mu’adz lalu berkata: “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga, demi Rabb-nya Nadhr, sesungguhnya aku mencium baunya di bawah kaki Gunung Uhud.” Kata Sa’ad bin Muadz: “Aku tidak mampu berbuat sepertinya wahai Rasulullah.” Berkata Anas bin Malik: “Lalu kami menemukannya terdapat delapan puluh lebih luka berupa tebasan pedang, tombak, dan lemparan panah. Dan kami menemukannya telah dicincang oleh kaum musyrikin, maka tidak seorang pun mengenalnya kecuali saudara perempuannya yang mengenali jarinya.” Berkata Anas bin Malik: “Kami mengira bahwa ayat ini turun berkenaan tentangnya.” (Al-Ahzab: 23)
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (13/45-46) dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bangkitlah kalian menuju surga yang seluas langit dan bumi.” Berkata Umair bin Al-Humam Al-Anshari: “Wahai Rasulullah, surga seluas langit dan bumi?” Beliau menjawab: “Iya.” Diapun berkata: “Bakhin, bakhin (ucapan yang menunjukkan rasa takjub, pen).” Maka bertanya Rasulullah: “Apa yang membuatmu mengucapkan bakhin bakhin?” Dia menjawab: “Tidak wahai Rasulullah, melainkan aku berharap agar (aku) termasuk penduduknya.” Beliau berkata: “Engkau termasuk penduduknya.” Maka dia mengeluarkan beberapa buah korma dari tempatnya lalu memakannya, kemudian berkata: “Jika aku hidup sampai aku memakan buah kormaku ini, sesungguhnya ini adalah kehidupan yang panjang.” Diapun melempar korma yang ada di tangannya kemudian bertempur hingga terbunuh.
Berkata An-Nawawi: “(Hadits) ini menunjukkan bolehnya menerobos ke tengah orang-orang kafir dan menghadapi mati syahid. Dan ini boleh, tidaklah dibenci menurut mayoritas para ulama.” (Syarah An-Nawawi, 13:46)
Masih ada beberapa dalil lain yang menunjukkan bolehnya amalan ini. (Lihat Sunan Al-Kubra karangan Al-Baihaqi, bab: Man Tabarra’a Bitta’arrudh Bil Qatl, 9: 43-44).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ta’ala: “Oleh karena itu, para imam empat membolehkan seorang muslim menerobos ke dalam barisan orang-orang kafir, meskipun besar perkiraannya bahwa mereka akan membunuhnya jika yang demikian mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa, 28: 540).
Membantah Syubhat yang Membolehkan Bom Bunuh Diri
Mereka yang berpendapat bolehnya melakukan bom bunuh diri selalu menggunakan hujjah berupa dalil-dalil yang membolehkan menerobos masuk ke sarang musuh, dan telah jelas bagi para pembaca rahimakumullah perbedaan di antara keduanya. Namun ada satu dalil yang juga mereka jadikan sebagai alasan bolehnya amalan ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, yang menceritakan tentang Ashabul Ukhdud, di mana seorang pemuda yang bertauhid memberikan petunjuk kepada sang raja yang dzalim tentang cara membunuhnya, yang mendatangkan kemaslahatan yang luar biasa, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung dan meninggalkan agama nenek moyangnya. (Lihat kisahnya dalam kitab Riyadhus Shalihin bab “Sabar” hadits no. 30)
Bantahan terhadap pendalilan kisah ini dari beberapa sisi:
Pertama, hadits ini menggambarkan seorang pemuda yang terbunuh namun dia menjadi sebab datangnya kemaslahatan yang jelas, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung. Berbeda dengan bom bunuh diri yang sama sekali tidak mendatangkan kemaslahatan, bahkan kemudharatan yang semakin besar dengan terbunuhnya kaum muslimin dalam jumlah yang semakin hari kian bertambah. Manakah kemaslahatan itu? Apakah orang Yahudi berbondong-bondong masuk Islam dengan sebab amalan tersebut? Berfikirlah wahai orang-orang yang berakal.
Kedua, pemuda tersebut tidak membunuh dirinya sendiri namun dia terbunuh melalui tangan sang raja disaat dia mengucapkan kalimat tauhid (yang menyebabkan) masuk Islam seluruh penduduknya. Berbeda dengan bom bunuh diri yang meledakkan diri sendiri bersama yang lainnya, (yakni) membunuh diri sendiri dengan sengaja, manakah persamaan itu?
Ketiga, terdapat perbedaan antara bunuh diri dengan memberikan petunjuk tentang cara membunuhnya disebabkan karena (ia) mendapatkan ilham akan adanya kemaslahatan yang lebih besar. Adapun yang mereka lakukan tidak lebih meninggalkan bekas yang lebih buruk yang menimpa kaum muslimin dengan sebab balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang kafir Yahudi terhadap kaum muslimin yang lemah. Ditambah lagi kurangnya ilmu yang mereka miliki serta tersebarnya kebid’ahan, kemaksiatan, dan jauhnya mereka dari ilmu sunnah .Wallahul musta’an. (Lihat Arraddu ‘Alaa Mujizil Intihaar, Mahir bin Dzafir Al-Qahthani: 6-7)
Dikutip dari http://asysyariah, Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi, Judul asli :Bom Bunuh Diri Dalam Timbangan Syariat
Like this:
One blogger likes this post.
http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/06/09/bom-bunuh-diri-dilarang-dalam-islam/